ARWAH-ARWAH
KARYA W.B. YEATS
TERJEMAHAN SUYATNA ANIRUN
RERUNTUHAN RUMAH,
SEBATANG POHON TAK BERDAUN
PEMUDA : Setengah pintu, pintu tengah
Kesana
kemari siang dan malam
Memikul
beban, ke bukit dan ke lembah
Mendengar
kau bicara saja.
ORANG
TUA : Perhatikan
rumah itu. Kuingat kisah dan leluconnya. Kuingat apa yang dikatakan si pelayan
kepada si penjaga mabuk pada pertengahan Oktober, tapi aku tak bisa. Dimana
kisah dan lelucon sebuah rumah kalau ambang pintunya dipakai memperbaiki
kandang babi?
PEMUDA : Kau
pernah kenal jalan ini?
ORANG TUA : Bulan
bersinar di atas jalan, bayangkan awan jatuh di atas atap rumah. Itulah
lambang. Lihatlah pohon itu! Seperti apa rupanya?
PEMUDA : Orang
tua lupa ingatan!
ORANG TUA : Aku
melihatnya tahun yang lalu botak seperti sekarang. Maka kupilih kerja yang
paling baik. Aku melihatnya lima
puluh tahun yang lalu sebelum petir membelahnya. Daun-daun hijau, daun-daun
tua, daun-daun segemuk mentega, hidup gemuk dan berlemak. Berdiri di situ dan
lihatlah! Karena ada orang di rumah itu.
baca juga: atas nama doa
baca juga: atas nama doa
PEMUDA : Tak seorangpun di
sini.
ORANG TUA : Ada orang di situ!
PEMUDA : Lantai sudah
hilang, jendela hilang dan dimana seharusnya ada atap, hanya langit yang
membentang. Dan di sini pun pecahan kulit telur jatuh dari sarang burung gagak.
ORANG TUA : Tapi ada beberapa yang
tidak peduli pada apa yang hilang atau pada apa yang ada. Arwah-arwah dari alam
barzah yang kembali ke rumah dan tempat yang mereka kenal.
PEMUDA : Kau sedang melantur
lagi!
ORANG TUA : Untuk merasakan lagi
dosa-dosa mereka. Tidak sekali tapi berulang-ulang. Akhirnya mereka tahu akibat
dari dosa-dosa itu. Atas orang lain ataupun atas dirinya sendiri. Atas orang
lain, orang lain bisa menolong. Tapi kalau atas dirinya sendiri tak ada pertolongan
kecuali atas diri sendiri dan pada belas kasihan Tuhan.
PEMUDA : Cukup sudah!
Bicaralah pada burung-burung kalau kau harus bicara juga!
ORANG TUA : Berhenti! Duduk di situ!
Itulah rumah dimana aku dilahirkan.
PEMUDA : Rumah tua yang
terbakar itu?
ORANG TUA : Ibuku atau nenekmu
memiliki tanah di daerah ini. Kandang-kandang anjing dan kuda. Ia punya kuda di
ladang ternak dan disana bertemu dengan ayahku, budak di kandang kuda. Saling
pandang, lalu mereka kawin. Tapi kemudian ibuku tak mau mengenalnya lagi.
PEMUDA : Apa yang benar dan
apa yang salah? Kakekku mendapatkan gadisnya beserta uangnya.
ORANG TUA : Ayahku memboroskan semua
milik ibuku. Ibuku tak pernah tahu yang terjelek karena ia meninggal waktu
melahirkan aku. Tapi sekarang ia tahu semuanya karena ia telah mati.
Orang-orang besar hidup dan mati di rumah ini. Patih-patih, Demang-demang dan
Hakim-hakim, Ponggawa-ponggawa dan perwira yang dulu bertempur di semenanjung
dan muara. Mereka yang telah pergi dengan tugas pemerintah pulang untuk mati
atau datang dari seberang tiap awal musim kemarau untuk meninjau bunga-bunga di
bulam Mei dalam taman. Mereka mencintai pohon-pohon yang ditebang ayahku untuk
membayar kekalahan di meja judi atau dengan kuda, minuman atau perempuan.
Mereka mencintai semua lorong yang ada di rumah ini. Membinasakan rumah dimana
orang-orang besar menjadi dewasa, kawin dan meninggal. Kunyatakan disini, telah
berlangsung suatu kejahatan yang laknat!
PEMUDA : Wah, tapi kau
beruntung. Pakaian mewah, mungkin kuda gagah untuk ditunggangi.
ORANG TUA : Supaya aku tidak lebih
unggul darinya, ayahku tidak pernah mengirim aku ke sekolah. Tapi masih ada
orang yang cinta karena aku juga anak ibuku. Istri penjaga mengajar aku
membaca, Pak Padri mengajar aku bahasa. Banyak buku-buku berharga dengan
jilidan mewah abad lalu. Buku-buku modern dan kuno. Beribu-ribu buku.
PEMUDA : Dan aku kau beri
pendidikan apa?
ORANG TUA : Kuberi kau pendidikan yang
patut bagi anak haram yang gampang. Ketika aku berumur enam belas tahun, ayahku
membakar rumah-rumah itu dalam mabuknya.
PEMUDA : Itu usiaku enam
belas tahun.
ORANG TUA : Dan seluruhnya terbakar
habis. Buku-buku, perpustakaan dan segalanya.
PEMUDA : Apa benar juga yang
kudengar sepanjang jalan bahwa kau membunuh ayahmu di rumah yang terbakar itu.
ORANG TUA : Tak ada seorangpun disini
kecuali kita?
PEMUDA : Tak seorangpun
ayah.
ORANG TUA : Kutikam dia dengan pisau.
Pisau yang sehari-hari biasa kita pakai. Setelah itu kutinggalkan dia di tengah
api yang sedang berkobar. Mereka menemukan mayatnya. Seseorang menemukan bekas
pisau tapi tak berani memastikan karena mayat itu hangus bagai arang. Beberapa
teman pemabuknya bersumpah untuk menghadapkan aku ke pengadilan, mendalihkan
ancaman yang pernah dilontarkan. Penjaga memberikan pakaian tua, aku melarikan
diri, bekerja dimana-mana, hingga aku menjadi penjual dari jalan ke jalan.
Bukan pekerjaan baik, tapi cukup baik. Karena aku anak ayahku. Karena apa yang
dia lakukan bisa aku lakukan. Dengar! Dengarlah! Derap kuda! Dengar!
PEMUDA : Aku tidak mendengar
apa-apa.
ORANG TUA : Jalan terus! Jalan terus!
Malam ini adalah peringatan malam perkawinan ibuku atau malam aku dikandung,
ayahku naik kuda dari tempat minum. Sebotol arak di tanganya.
DI
JENDELA MUNCUL WANITA MUDA
ORANG TUA : Lihat di jendela! Ibuku
berdiri di situ, mendengar. Pelayan-pelayan sudah tidur. Ibuku sendirian.
Ayahku pulang jauh ditengah malam karena ia berjudi dan mabuk-mabukan di kedai
minum.
PEMUDA : Tak ada apa-apa
kecuali lubang kosong pada tembok. Kau dusta. Tidak, kau gila! Kau makin gila
tiap hari!
ORANG TUA : Suara itu makin keras
karena ia melewati jalan berkerikil yang kini ditutupi rumput. Suara derap
berhenti. Ia pergi ke belakang rumah, mengandangkan kudanya. Ibuku turun
membuka pintu, malam ini ia tak lebih sopan dari suaminya yang terhuyung karena
mabuk. Ibuku tergila-gila padanya. Mareka naik tangga. Ibuku membawanya ke
tempat tidur. Itulah kamar perkawinan mereka dan itulah ranjang perkawinan
mereka. Jendela sudah setengah gelap kembali. Jangan biarkan dia menjamahku!
Tidak benar bahwa suami mabuk tak bisa membuahi dan kalau ia mulai berhasil,
kau harus mengambil benih pembunuhnya. Tuli! Tuli! Keduanya tuli! Bahkan jika
kulempar kayu atau batu mereka tak mendengar. Itulah bukti pikiranku sudah sakit.
Tapi ada satu soal, ibuku harus mengalami sekali lagi semua bahkan segalanya.
Didorong oleh rasa sesal. Tapi bisakah ia berkelamin lagi dan tak menemukan
kepuasan didalamnya. Bila ketidakpuasan harus bersama-sama, mana yang lebih
kuat! Aku tanpa didikan. Pergilah! Panggil pelayan! Ia dan aku akan menguraikan
segalanya sementara kedua orang itu berbaring di ranjang, membuahi dan
mengandung aku.
PEMUDA
MENGADUK-ADUK KANTONG LALU MEMBAWANYA
ORANG TUA : Kembali!
Kembali! Kau kira kau bisa melarikan diri dengan bungkusan uangku di tanganmu?
Dikiranya sementara aku bicara tak melihat kau mengaduk-aduk buntalan itu?
PEMUDA : Kau tak pernah
memberiku bagian.
ORANG TUA : Jika kuberikan, anak muda
seperti kau akan menghabiskannya pada minuman.
PEMUDA : Kalau aku
menghendakinya? Aku berhak menggunakan uangku semaunya.
ORANG TUA : Berikan bungkusan itu dan
tutup mulutmu!
PEMUDA : Tidak mau!
ORANG TUA : Akan kuhancurkan
jari-jarimu.
MEREKA
MEMPEREBUTKAN KANTUNG. DALAM PERKELAHIAN KANTUNG ITU LEPAS DAN UANGNYA
BERHAMBURAN. ORANG TUA ITU TERHUYUNG TAPI TIDAK JATUH. MEREKA BERDIRI SAMBIL
MEMANDANG JENDELA. TAMPAK TERANG. TAMPAK SEORANG LELAKI SEDANG MENGISI GELASNYA
DENMGAN WHISKEY.
PEMUDA : Bagaimana kalau kau
kubunuh? Kau membunuh kakekku karena kau muda dan ia tua. Sekarang aku yang
muda dan kau yang tua.
ORANG TUA : (MELIHAT KE JENDELA)
Kini lebih jelas. Enambelas tahun itu.
PEMUDA : Apa
yang kau ocehkan?
ORANG TUA : Lebih muda. Padahal
perempuan itu harus tahu bahwa lelaki itu bukan macamnya.
PEMUDA : Apa yang kau
katakan? Hentikan! Hentikan!
ORANG
TUA ITU MENUNJUK KE JENDELA
PEMUDA : Tuhanku! Jendela
itu terang dan seseorang berdiri di situ.
ORANG TUA : Jendela itu terang lagi.
Ayahku datang untuk mendapatkan segelas whiskey. Ia bersandar di sana seperti binatang yang
kepenatan.
PEMUDA : Orang mati dibunuh
yang hidup kembali.
ORANG TUA : ‘Dan ranjang pengantin
jauh pada Adam’. Dimana kubaca kata-kata itu. Padahal tidak ada sesuatupun yang
tersandar di jendela itu selain bayangan yang ada di kepala ibuku yang mati
kesepian dalam sesalnya.
PEMUDA : Tubuh yang menjelma
sebelum dilahirkan. Mengerikan! Mengerikan! (MENUTUP WAJAHNYA)
ORANG TUA : Makluk
itu takkan tahu apa-apa, karena bukan apa-apa, jika kubunuh orang di bawah
jendela itu, ia bahkan takkan sempat memutar kepalanya.
ORANG
TUA MENIKAM ANAK MUDA ITU
ORANG TUA : Ayahku dan anakku oleh
pisau yang sama. Ini mengakhiri.
ORANG
TUA MENIKAM BERULANG-ULANG, JENDELA JADI GELAP
PEMUDA : Ibuku sayang,
jendela itu gelap kembali. Tapi kau ada dalam cahaya sebab telah kuselesaikan
segala akibatnya. Kubunuh anak itu karena ia telah tumbuh. Ia akan mematahkan
nasib seorang perempuan, membuahinya dan melanjutkan keonaran.
SELESAI