TUAN DATANG DAN
LANGSUNG DUDUK DI KURSI. DIA DUDUK DENGAN SANGAT ENAK. SEMENTARA ITU, NYONYA
DATANG TERENGAH-ENGAH. DIA KESAL SEKALI KARENA TIDAK BERHASIL MENGEJAR PONAKAN
A. DIA TERKEJUT MELIHAT TUAN SUDAH DUDUK DI RUANG TAMU. LALU, SEMUA
KEKESALANNYA ITU DILAMPIASKANNYA PADA TUAN.
NYONYA
Ah,
Tuan lagi! Kenapa Tuan duduk di sini?
TUAN
Maaf,
Nyonya.
NYONYA
Apa
Tuan kira setelah berhasil membeli satu meter persegi tanah pekaranganku dan
empat buah marmer teras rumahku, Tuan dapat berbuat seenaknya di sini? Tuan,
kembali pada milik Tuan yang telah Tuan beli!
TUAN
Cukup
lama saya berdiri di teras, di tempat milik saya. Tapi lama-lama tidak tahan
juga, Nyonya. Cahaya matahari sore menimpa teras Nyonya keras sekali. Keringat
saya mengalir banyak sekali, Nyonya. Panas.
NYONYA
Tuan
tahu kursi itu milikku, bukan?
TUAN
Sangat
tahu, Nyonya. Tapi, kalau kursi ini dinamakan kursi tamu, tentu semua tamu
berhak duduk di sini.
NYONYA
Tamu
yang duduk di sini adalah tamu yang diundang dan dihormati. Tuan tidak pantas
dihormati karena Tuan tidak pernah kuundang.
TUAN
Diundang
atau tidak, kenyataannya saya telah menjadi tamu.
NYONYA
Apa?
Jadi tamu, kata Tuan?
TUAN
Ya.
Karena saya telah duduk di kursi tamu
NYONYA
Ekornya,
Tuan. Ekornya. Nama baikku akan cacat bila menerima tamu seperti Tuan di rumah
yang sedang lengang ini.
TUAN
Saya
memenuhi fungsi kursi ini sebagai kursi tamu. Jadi, tidak ada hubungannya
dengan nama baik Nyonya.
NYONYA
Rumah
ini masih punya pemilik, Tuan. Jangan
seenaknya Tuan di sini.
TUAN
O,
tentu. Pemilik rumah ini, Nyonya bukan?
NYONYA
Kalau
Tuan tahu rumah ini punya pemilik,
mestinya Tuan minta izin lebih dulu, tahu! Mentang-mentang aku menyediakan
kursi tamu, lalu Tuan anggap kursi itu bisa diduduki dengan gampang tanpa
prosedur.
TUAN
Kalau
begitu izinkan saya duduk, Nyonya. (Berdiri dan duduk kembali)
NYONYA
Berdiri!
Aku tidak mengizinkan!
TUAN
Nyonya
harus member izin.
NYONYA
Ekornya
Tuan, ekornya. Berapa kali harus kukatakan. Nanti bisa terjadi macam-macam.
TUAN (Berdiri dan marah)
Macam-macam
bagaimana?
NYONYA
Berapa
kali harus kuulang bahwa ibuku belum pulang dan suamiku masih dirawat di rumah
sakit.
TUAN
Saya
tidak beniat jahat, Nyonya. Tidak percaya? Tanya istri saya.
NYONYA
Lalu,
buat apa Tuan duduk di sini?
TUAN
Untuk
menghindari panas matahari
NYONYA
Pakai
payung!
TUAN
Payungnya
lagi dipakai anak-anak menari. Tari payung.
NYONYA
Keluar
kataku. Tuan tidak tahu sopan santun. Tuan tidak tahu adat!
TUAN
Negeri
ini punya adat, Nyonya. Harimau dalam perut, kambing jugalah yang
harus Nyonya keluarkan. Masa Nyonya mau melanggar adat hanya karena emosi.
NYONYA
Harimau,
kambing, atau gajah seakli pun harus keluar dari rumah ini. Keluar!
TUAN
Baik,
Nyonya. Saya keluar. Tapi bolehkaah saya meminjam kursi ini untuk duduk di
teras?
NYONYA
Apa?
Tuan mau meminjam kursi ini? Membawanya keluar? Tuan! Bila kursi ini tidak
berada lagi di ruang tamu, namanya bukan lagi kursi tamu. Tuan jangan coba-coba
mengubah nama barang-barang yang berada di rumahku ini.
TUAN
Memenuhi
fungsi sebuah kursi, tidak boleh. Mengubah namanya, tidak boleh. Apa kursi ini
begitu keramat sehingga Nyonya mati-matian memertahankannya?
NYONYA
Harganya
mahal, Tuan!
TUAN
Benar.
Pantas enak sekali diduduki (duduk)
NYONYA
Tentu
saja enak, Tuan! Di mana-mana kursi empuk selalu enak diduduki. Apalagi pada
saat sekarang ini.
TUAN
Memang
wajar Nyonya mempertahankannya. Pantas Nyonya tidak mau tahu lagi dengan adat
dan sopan santun. Tapi maaf, Nyonya. Bagaimana pun juga Nyonya mempertahankan. Yang jelas
kursi ini sudah ketinggalan mode.
NYONYA
Ketinggalan
mode? Apa Tuan sudah gila? Tuan tahu, harga kursi empuk begini sekarang tinggi.
TUAN
Mode
sudah ketinggalan dan tidak cocok pula dengan ruang tamu yang begini luas.
NYONYA
Cukup!
Tuan tidak kuizinkan duduk di sini, malah Tuan bicara macam-macam! Hampir semua
orang ingin kursi begini, tahu!
TUAN
Laris,
maksud Nyonya!?
NYONYA
Ya.
Karena mahalnya.
TUAN
Yang
laris biasanya murah, Nyonya.
NYONYA
Murah,
kata Tuan? Tuan tahu berapa kubeli? Tidak bukan? Tiga ratus ribu!
TUAN
O,
hanya tiga ratus ribu.
NYONYA
Itu
harga sebelum penyesuaian, Tuan. Kalau sekarang harganya sudah dekat satu juta.
Tuan jangan terlalu merendahkan harga kursi ini.
TUAN (Menendang kursi)
Masa
kursi begini harganya sampai satu juta! Gila apa! Paling mahal dua ratus ribu!
NYONYA
Tuan!
Tuan tidak perlu menendang kursiku! Saudagar macam apa ini!? Tidak tahu harga
pasaran!
TUAN
Barang
bekas selalu jatuh harga, Nyonya.
NYONYA
Misalkan
barangku ini barang bekas, seharga enam ratus ribu pun aku tidak akan menjualnya.
TUAN
Nyonya
tidak mau menjualnya karena fungsinya atau karena empuknya?
NYONYA
Karena
namanya. Mungkin saja ada kursi taman sejenis kursi tamuku ini, tapi kursi taman
bukan kursi tamu, bukan?
TUAN
Apa
Nyonya mau melepaskannya bila kubayar enam ratus ribu?
NYONYA
Belum
kulepaskan. Naik.
TUAN
Enam
ratus dua puluh lima?
NYONYA
Naik
lagi.
TUAN
Enam
ratus lima puluh?
NYONYA
Naik
lagi
TUAN
Enam
ratus tujuh puluh lima?
NYONYA
Naik
lagi
TUAN
Tujuh
ratus!
NYONYA
Tuan,
kenaikan dua puluh lima dari tawaran. Tuan memperlambat proses jual beli.
Terbukti Tuan bukanlah pedagang yang pintar.
TUAN (Mengeluarkan uang dari tasnya)
Ini.
Tujuh ratus ribu!
NYONYA
O,
o, Tuan. Apa itu? Uang? Tujuh ratus ribu?
TUAN
Tak
kurang serupiah pun! (Menyerahkan uang itu)
NYONYA (Menerima uang itu dengan penuh nafsu, tapi
pura-pura gugup) Jadi, TTuan membeli sebuah kursi seharga tujuh ratus ribu?
Tuan. Tuan. (Pura-pura menangis) aku
tidak akan menjualnya, Tuan (menangis)
TUAN
Hati-hati
kalau menghitung uang, Nyonya. Ramalan cuaca boleh keliru. Tapi keliru
menghitung uang, cuaca bisa berubah.
NYONYA (Terus menghitung uang, menangis)
Tidak.
Tidak. Aku tidak akan menjualnya. Nanti suamiku akan kehilangan kursi. Ibuku
akan jatuh pingsan karena tidak punya
kursi lagi.
TUAN
Ingat,
Nyonya. Pembatalan secara sepihak dalam perdagangan bisa dituntut di
pengadilan.
NYONYA
Jadi,
Tuan akan menuntutku ke pengadilan? Jangan, Tuan. Ekornya, Tuan. Ekornya kurang
enak.
TUAN
Bila
Nyonya berusaha membatalkannya, saya pasti akan menuntut. Sewaktu-waktu saya
bisa saja nekat, Nyonya. Tidak percaya? Tanya istri saya.
NYONYA (Terus menghitung uang, pelan-pelan mundur)
Ekornya,
Tuan. Ekornya. Aku tidak akan menjualnya, Tuan. Ekornya, Tuan.. (Terus masuk ke kamarnya)
TUAN (Menarik napas)
Rugi!
Tapi tidak jadi soal. Anggap saja menanam modal (Duduk lagi)
TIBA-TIBA
ISTRI DATANG. TUAN SEDIKIT GUGUP
TUAN
Halo
sayang….
ISTRI (Naik pitam)
Apa
halooo? Apa sayaaang? Nasi sudah dingin gara-gara menunggumu! Katanya, kau akan
pulang cepat! Nyatanya parkir di sini! Lalu, kau bilang “Halo sayang” bilang
saja “Halo Babu!” ,”Halo Kucing dapur!” sudah beranak tujuh masih bilang sayang
hah….! Di rumah orang lagi!
TUAN
Sabar,
sabar sayang. Kau harus mengerti bagaimana peliknya dunia bisnis. Berkali-kali
hal seperti ini kukatakan, tapi kau tidak kunjung paham. Aku baru saja terlibat
pertengkaran. Masa kursi begini dikatakan harganya enam ratus ribu?
ISTRI
Mestinya
berapa?
TUAN
Dua
ratus ribu sudah terlalu mahal. Tapi memang, semua kursi yang berada pada
ruangan tertentu harganya pasti naik menurut fungsi ruangannya.
ISTRI
Kau
pedagang barang antic, bukan pedagang kursi bekas. Kenapa pertengkaran sampai
pada harga kursi? Pasti ada apa-apanya.
TUAN
O,
tentu ada apa-apanya, saying. Kursi ini cukup antic. Tidak percaya? Tanya istri
saya, eh,eh… ya, istri saya, ini, kau. Kau, kau kau memang istriku. Ah, saya
sedang berusaha mencari kursi-kursi begini untuk anggota baru.
ISTRI
Anggota
baru? Anggota parlemen maksud kau?
TUAN
Eh,
maksudku, langganan baru.
ISTRI
Kursi
yang masih diduduki pemiliknya sudah kau tawar, tenu saja dapat menimbulkan
pertengkaran.
TUAN
Kalau
dia mau menjual, apa salahnya bukan?
ISTRI
Semua
orang pasti berusaha mempertahankannya. Apalagi kursi seperti ini. (Duduk)
empuk lagi. Berapa harganya?
TUAN
Enam
ratus ribu
ISTRI
Berapa
kau tawar?
TUAN
Kubayar
tujuh ratus ribu
ISTRI (Berdiri)
Harganya
enam ratus ribu dibayar tujuh ratus ribu. Ini kan gila!
TUAN
Ini
perdagangan klasik, istriku. Kau harus dapat memahaminya. Barang bekas selalu
lebih tinggi harganya di mata pedagang barang antik
ISTRI
Hanya
untuk kursi macam begini?
TUAN
Istriku
saying, kau jangan main-main. Resesi ekonomi dunia membuat harga kursi naik
pada politik dan kau pasti akan sulit lagi memahaminya semua kawasan Negara
berkembang. Ini.
ISTRI
Kursi
di rumah kita lebih antic dari kursi ini. Tapi kenapa kau jual begitu murah?
TUAN
Siasat,
kataku. Siasat. Siasat dagang, saying. Kalau kita tidak punya kursi lagi di rumah. Semua anak-anak
kita akan aman. Mereka tidak akan berkelahi memperebutkan kursi. Betapa
ributnya rumah kita setiap hari. Kita mau tidur, mereka berebutan kursi. Dan
celakanya, kursi itu mereka jadikan mobil-mobilan, kereta api=kereta apian,
kapak-kapalan, rumah-rumahan. Erus terang, aku tidak suka anak-anak kita
mempergunaka kursi untuk mendapatkan mobil, rumah, kapal dan sebagainya itu!
ISTRI
Kalau
mereka masih anak-anak, tidak apa.
TUAN
Kalau
kita biarkan, mereka akan rebutan kursi sampai tua!
ISTRI
Teorimu
baik sekali. Tapi, apa kau tahu yang terjadi siang tadi?
TUAN
Mana
aku tahu. Aku sibuk bisnis, kan.
ISTRI
Karena
mereka ingin kursi, anak tetangga dijadikannya kursi. Bahkan si bungsu, kompor
yang sedang menyala didudukinya. Mereka menganggap itulah yang tepatt dijadikan
kursi.
TUAN
Akh,
kau terlalu berlebihan.
ISTRI
Sekarang
begini saja. daripada anak kita sakit karena selalu memimpikan kursi, sebaiknya
kursi ini dibawa pulang.
TUAN
Kursi
yang ini?
ISTRI
Iya.
Sudah dibayar, kan?
TUAN
Jangan
sekarang. Kursi ini untuk langgananku.
ISTRI
Kau
selalu saja menunda keperluan mereka akan kursi. Aku akan panggil becak!
TUAN
Kursi
ini akan dibawa dengan becak? Ah, jangan. Nanti harganya jadi turun.
ISTRI
Yang
penting anak-anak kita, bukan harga kursi. (Pergi keluar) becak. Becak. Bawa
kursi saya.
TUAN
Jangan.
Kursi ini akan dijual!
ISTRI (Di luar)
Becak!
Becak! Bawa kursi saya!
TUAN (Berlari keluar)
Kursi
ini akan dijual!
ISTRI (Masuk lagi)
Becak!
Becak! Becak! Bawa kursi saya! Becak! Becak! Bawa kursi saya. (Terus keluar)
DUA
NYONYA LAINNYA (PONAKAN B DAN PONAKAN C) DATANG DARI ARAH LAIN
PONAKAN B
Ini
rumahnya! Uh! Lebih mewah daripada rumah kepala imigrasi!
PONAKAN C
Baru
lagi! Besar dan mewah
PONAKAN B
O,
pantas! Uang pusaka kita dihabiskan Datuk untuk membangun rumah ini!
PONAKAN C
Persoalan
ini harus diselesaikan sampai tuntas
PONAKAN B
Sampai
ke akar-akarnya! Hari ini juga!
PONAKAN C
Mana
istrinya? Takut menemui kita?
PONAKAN B
Maklum.
Wanita muda kalau bersuami tua, apalagi kalau suami sedang terbujur di rumah
sakit tentu saja kerjanya… nah, dia datang!
PONAKAN C
Ayo,
mulai! Jangan berubah dari rencana!
NYONYA
DATANG, PONAKAN B DAN C MENGUBAH SIKAPNYA
NYONYA
Ada
tamu rupanya? Kapan datang? Sudah lama
tidak pulang kampong. Apa sudah ke rumah sakit? Bagaimana kabar sekarang?
Katany, kalian bersuamikan orang berpangkat tinggi. Sudah kaya ya. Pantas tidak
mau menengok kampong lagi. Kenapa diam saja? letih barangkali? Penat?
PONAKAN C (Pada Ponakan B)
Dia
mulai gugup
NYONYA
Wah,
keadaan Datukmu menyedihkan sekali. Sudah enam bulan lebih dia dirawat di rumah
sakit. Kalian pulang untuk menjenguk Datukmu atau hanya sekedar berlibur? Atau
karena suami kalian lagi ikut seminar pedesaan di sini?
PONAKAN C
Lidah
Datuk akan dipotong!
NYONYA
Akan
di potong? O, kalau begitu kalian sudah dari rumah sakit? Dokter mana yang
mengatakan begitu? salah dengar barangkali?
PONAKAN C
Salah
dengar, salah dengar. Setiap hari telingaku dibersihkan, tahu!
NYONYA
Jadi,
kalian bukan salah dengar? Baik. Dokter mana yang mengatakan lidah Datuk akan
dipotong? Dokter yang tinggi? Yang pendek? Yang gendut? Yang suka merokok? Yang
suka beli nomor? Ah… masa lidah Datuk akan dipotong. Mungkin dokter itu
berseloroh atau menakut-nakuti….
PONAKAN B
Lidahnya
dipotong! Iii!
PONAKAN C
Dan,
semua persoalan akan tertutup
NYONYA
Ada
apa sebenarnya? Kok bicaramu ketus sekali. Coba bicara seperti dulu lagi.
Saat-saat kalian dalam kesusahan. Lunak gigi daripada lidah. Aku kan istri Datukmu,
ya kan?
PONAKAN B
Dan
Datuk kami telah membayar cintanya dengan mahal sekali kepadamu
PONAKAN C
Semua
uang hasil penjualan tanah pusaka kami telah dibayarkan untuk cintanya!
PONAKAN B
Ini
tidak wajar!
PONAKAN C
Melanggar
adat.
PONAKAN B
Ternyata
Datukku sendiri yang menerima kutukan! Ini tidak adil!
PONAKAN C
Padahal
yang menghabiskan uang itu bukan dia sendiri
PONAKAN B
Kini
lidahnya akan dipotong
PONAKAN C
Dan,
dia tidak akan pernah lagi bisa berbicara
PONAKAN B
Akhirnya,
kami kehilangan jejak mencari uang itu
PONAKAN C
Uang
itu harus didapatkan!
PONAKAN B
Sekarang
juga!
PONAKAN C
Kalau
tidak, terpaksa kami bertindak!
PONAKAN B
Tidak
ada lagi yang dapat menahan kesabaran kami!
PONAKAN C
Hari
ini mesti beres
PONAKAN B
Selesai
secara tuntas
PONAKAN C
Hari
ini adalah hari penenTuan!
PONAKAN B
Apakah
uang itu ada, dan berada dimana
PONAKAN C
Hari
ini hari kepastian!
PONAKAN B
Apakah
uang itu mau diserahkan atau tidak (Berbisik
pada Ponakan C) apa lagi? Aku lupa
PONAKAN C (Pada Ponakan B)
Bank
dan penyitaan
PONAKAN B
Kalau
uang masih berada di bank, harus segera dikeluarkan
PONAKAN C
Kalau
masih di simpan di sini, harus diserahkan pada kami
PONAKAN B
Bila
uang itu sudah habis, semua kursi yang ada akan disita
PONAKAN C
Becak
telah menunggu di depan!
PONAKAN B
Semua
akan dijadikan barang bukti di pengadilan
PONAKAN C
Jaksa
telah siap mengajukan tuntutan!
PONAKAN B
Pengadilan
akan….
NYONYA (Menjerit sekuat-kuatnya)
Aaaaai!
Ya am pun. Bagaimana ini? Kalian akan mengadukan aku ke pengadilan? Ekornya.
Ekor persoalan ini tidak baik. Ya, am pun. Jadik kedatangan kalian berdua hanya
untuk itu? bukan untuk melihat Datukmu yang lagi sakit? Apa kalian tega
mengadukan istri Datukmu sendiri ke pengadilan?
PONAKAN C
Bukan
kau, tapi Datuk kami
NYONYA
Bagaimana
menuntut seseorang yang tidak bisa bicara lagi?
PONAKAN C
Kami
punya bukti yang cukup
PONAKAN B (mengeluarkan selembar kertas dari dalam
tasnya)
Ini
bukti tertulis. Pengakuan Datuk kami
NYONYA
Jadi,
dia mengaku? Apa yang diakuinya?
PONAKAN B (Membaca kertas itu berbisik-bisik)
Pokoknya,
uang tanah pusaka telah diserahkan pada istrinya.
NYONYA
Aku?
Aku? Serupiah pun aku tidak menerima
uang itu
PONAKAN B
Tapi,
rumah mewah ini? Dengan kursi-kursinya?
NYONYA
Ibuku
yang membelikannya
PONAKAN C
Tidak
mungkin
NYONYA
Kami
telah bekerja keras membangun rumah ini dan membeli semua perabotannya. Kami
terpaksa menjadi penangis pesanan pada setiap acara kematian. Kami menangis dan
kami dibayar! Tidak ada uang orang lain yang kami pakai
PONAKAN C
Jadi,
kau menyangkal bahwa rumah ini dibeli dengan tanah pusaka kaum kami?
NYONYA
Jadi,
menurut kalian uang itu ada di sini?
PONAKAN C
Menurut
kertas ini
NYONYA
Coba
lihat
PONAKAN C
Bukan
urusanmu
NYONYA
Aku
tidak percaya
PONAKAN C
Tidak
percaya, ya sudah. Lihat saja di pengadilan nanti
NYONYA
Pengadilan?
Ya am pun. Namaku… ekornya…. (ketakutan)
baiklah. Baik. Ya, ya… aku mengakui sesuai dengan pengakuan suamiku. Ya, ya
uang itu ada di sini. Biar kuambil (Lari
kedalam)
PONAKAN C (Lega)
Kena
batunya
PONAKAN B
Kalau
tidak karena siasatku, belum tentu kita berhasil
PONAKAN C
Ini
berkat semua rencana yang telah kususun secara mantap
PONAKAN B
Tapi,
aku yang mengajukan ide begitu, bukan?
PONAKAN C
Idemu
kan tidak sempurna. Akulah yang putar otak menyempurnakan semuanya
PONAKAN B
Tapi
ketegasanku bicara tadi bagaimana? Meyakinkan, bukan!?
PONAKAN C
Kalau
tidak kuingatkkan sewaktu kau adi lupa, pasti rencana ini berantakan
PONAKAN B
Ideku
cukup cemerlang
PONAKAN C
Semua
ini berkat keunggulanku
PONAKAN B
Aku,
kataku!
PONAKAN C
Aku.
Aku. Atau, aku ebrteriak-teriak mengatakan bahwa semua ini kehebatanku!
PONAKAN B
Ssst…
dia datang!
PONAKAN C
Simpan
kembali kertas itu. nanti ketahuan
NYONYA
DATANG DAN MENYERAHKAN SEJUMLAH UANG
NYONYA
Ini
uangnya
PONAKAN C
Berapa?
NYONYA
Tujuh
ratus ribu
PONAKAN C
Hanya
segini? (mengambil uang itu dari tangan Nyonya)
NYONYA
Ya.
Itu pun telah kutambah dengan uangku
sendiri
PONAKAN C
Tidak
soal. Yang penting jumlahnya (menghitung
uang)
PONAKAN B
Langsung
dibagi, kan?
PONAKAN C
Tentu,
tentu.
PONAKAN B
Bagi
rata, kan?
PONAKAN C
O,
tentu. Tentu (menyerahkan sejumlah uang)
PONAKAN B (Menghitung uang yang diterimanya)
Hanya
dua ratus ribu?
PONAKAN C
Kita
memang punya hak sama. Tapi, dalam hal
tertentu selalu berbeda
PONAKAN B
Jadi
perbedaannya berdasarkan apa?
PONAKAN C
Berdasarkan
keperluan. Keperluanku lima ratus ribu
PONAKAN B
Dan
keperluanku hanya dua ratus ribu?
PONAKAN C
Kau
istri pegawai rendah, perbelanjaanmu tentu rendah pulan
PONAKAN B
Apa
hubungan pembagian ini dengan status kepegawaian suami?
PONAKAN C
Istri
pegawai rendah dan pegawai tinggi punya
keperluan yang berbeda. Di mana-mana begitu. Masa kau lupa pangkat suamimu?
PONAKAN B
Wah,
bagaimana ini? Tidak adil
PONAKAN C
Kalau
mau dapat bagian yang sama, suami harus naik pangkat dulu empat kali lipat.
Dan, itu tidak bakal tterjadi dalam dunia kepegawaian
PONAKAN
A DATANG DENGAN PISAU TERHUNUS
NYONYA
Nah,
itu dia! Uang marmerku! Uang marmerku!
PONAKAN C
Kau
mau apa kesini! Pergi!pembagianmu sudah kau terima sendiri bukan?
PONAKAN A
Siapa
yang bicara akan kubungkam!
NYONYA (Menangis)
Uang
marmerku. Uang marmerku
PONAKAN A
Bagianku
mana?
PONAKAN C
Bagian
apa lagi?
PONAKAN A
Kalau
tidak dibagi rata, tak seorang pun yang
bisa selamat keluar dari rumah ini
PONAKAN C
Jadi
kau gunakan pisau untuk mengancamku? (Mengeluarkan pisau yang lebih besar) ini!
Aku punya yang lebih besar!
NYONYA
Jangan
berbunuhan. Jangan. O, uang marmerku. Uang kursiku. Jangan berbunuhan. Ekornya.
Ekornya.
PONAKAN A
Diam!
Ekorku lebih besar lagi tahu! Ayo cepat. Keluarkan bagianku!
PONAKAN B
Kalau
begini caranya, aku juga bisa lebih nekat! (Mengeluarkan
pisau yang lebih besar dari dalam tas)
NYONYA
Jangan
berbunuhan! Jangan. Ah! Ya am pun…. Ekornya…. Ekornya…. (Keluar)
KETIGA PONAKAN LEGA DAN SALING BERSALAMAN. MEREKA
TERTAWA CEKIKIAN.
PONAKAN C
Dengan
uang ini, nama kita sebagai kemenakan akan pulih kembali. Kita bayar semua
ongkos rumah sakitnya!
PONAKAN A
Ya.
Dengan begitu, tidak ada seorang pun
lagi yang menuding kita. Kita harus buktikan bahwa sampai sekarang para
kemenakan masih setia dan hormat pada Datuknya.
PONAKAN B
Ya.
Bila ongkos rumah sakit telah terbayar, orang-rang tidak lagi menuduh kita
tidak tahu adat.
PONAKAN C (Berteriak)
Kami
adalah bukti kesetiaan pada….
PONAKAN A
Tunggu!
Kita harus bersama-sama!
BERTIGA (Berteriak sambil mengacungkan pisau ke udara)
Kami
adalah bukti kesetiaan kepada….
PONAKAN B (Sadar)
E,
e, e pisaunya disimpan dulu. Disimpan.
BERTIGA (Berteriak lebih keras setelah menyimpan
pisau kedalam tas)
Kamilah
pewaris adat negeri ini! Tak lekang dek panas! Tak lapuk dek hujan! (Lalu keluar sambil bergoyang pinggul)
Ekornya…. Ekornya…. Ekornya…..
LAMPU PADAM